Minggu, 25 April 2010

Forgiveness: Memaafkan Bukanlah Sekedar Melupakan

Beberapa ahli sudah banyak yang membahas, bahkan meneliti tentang permaafan. Diantara ahli-ahli tersebut, didapatkan penjelasan, bahwa Forgiveness merupakan salah satu mekanisme untuk mengurangi atau menghilangkan sifat alami menghindar dan balas dendam, dengan cara menolak atau membuang respon negatif terhadap seseorang (McCulough & Worthington, 1999). Sedangkan Freedman (1998) mengungkapkan forgiveness merupakan proses berdamai, yang secara tidak langsung merujuk pada perbaikan akan suatu hal atau hubungan yang retak. 
Memaafkan bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan, terlebih lagi jika orang atau kejadian yang dialaminya terasa menyakitkan hingga mengancam kesejahteraan dirinya. Hal tersebut pun pada akhirnya membuat seseorang mengakhiri ketidaknyamanan yang terjadi dengan cara melupakan, sehingga terkadang pandangan antara memaafkandan melupakan hanyalah beda tipis. Secara latah pun orang akan menganggap suatu urusan selesai bila sudah tercapai kesepakatan untuk melupakan. Padahal, dari asal katanya sendiri memaafkan tidaklah sama dengan melupakan, forgiving berbeda dengan forgetting, excusing, pardoning, condoning, maupun denial. Seseorang bisa dikatakan memaafkan bila di dalam dirinya sudah melepaskan permasalahan yang dulunya dipandang menyakitinya, sehingga saat masalah tersebut diungkit sudah tidak ada reaksi fisik maupun reaksi emosi yang terlibat di dalamnya. Ternyata tidak sesimpel sekedar melupakan bukan?
Setelah membaca penjelasan di atas, mungkin dalam diri pembaca ada yang bertanya, "Lalu, jika demikian, bagaimana bisa aku memaafkannya, ketika ini terasa sangaaat menyakitkan?"
atau pertanyaan, "Aku sudah memaafkannya kok, buktinya hal itu sudah tidak menggangguku, bahkan aku tidak memikirkannya." Jikalau pertanyaan ini masih ada, sesungguhnya dalam diri kita sedang proses melupakan, bukan memaafkan. Tanpa diakui pun sebenarnya kita masih merasakan reaksi atas rasa sakit atau kecewa karena hal yang belum kita maafkan. Iya kan? Heheee...
"Terus, aku kudu piye?" Bahkan seringkali pertanyaan ini yang akan dilontarkan pasca menyadari hal itu.  
Hey, jangan berkecil hati dulu, setiap orang pasti pernah berada di fase itu, tinggal bagaimana kita belajar untuk memaafkan dan menjadi lebih baik dibanding sebelumnya.
Saya pernah membaca sebuah artikel mengenai 9 langkah memaafkan, tapi maaf saya lupa sumbernya (mungkin bisa dibenahi lain kali), yaitu sebagai berikut:
  1. Kenali perasaanmu dan ceritakan pada orang yang dapat dipercaya.
  2. Buatlah komitmen apa yang harus kamu lakukan untuk merasa lebih baik.
  3. Temukan kedamaian.
  4. Dapatkan persepsi yang benar mengenai apa yang sebenarnya terjadi. 
  5. Praktekkan manajemen stres. 
  6. Berhenti berharap akan sesuatu yang tidak bisa kamu miliki
  7. Cari alternatif lain untuk mencapai tujuan hidup yang positif
  8. Pahami bahwa memiliki kehidupan yang baik adalah “balas dendam” yang terbaik. 
  9. Jadikanlah pengalaman memaafkanmu itu sebagai sebuah pilihan yang heroik.
Kalau cara itu belum berhasil untukmu, mungkin kita bisa mendiskusikan manfaat dari memaafkan itu sendiri bagi kita. Pernahkah terpikirkan olehmu bila memaafkan itu memberikan manfaat fisik dan psikis bagi kita?
Kalau belum, saya jabarkan nih

Manfaat bagi kesehatan fisik yang akan kita rasakan, antara lain:
  1. Aktivitas hormon dan tekanan darah lebih stabil
  2. Otot menjadi lebih rileks. 
  3. Terhindar dari penyakit-penyakit akibat stres seperti sakit punggung bagian bawah dan sakit perut.


Manfaat bagi kesehatan mental kita antara lain:
1. Forgiveness memicu terciptanya keadaan baik dalam pikiran
2. Forgiveness menurunkan emosi negatif.
3. Meningkatkan kemampuan mengendalikan diri.  
4. Menghilangkan stress dan balas dendam.

Kalau kita tinjau lebih jauh lagi, ternyata reaksi fisik tidak memaafkan itu ternyata sama dengan reaksi fisik ketika kita mengalami stres. Berikut penjelasannya:


 SO, pilih yang mana? memaafkan atau tidak?





Tidak ada komentar:

Posting Komentar