Kali ini aku akan menuliskan sebuah pemikiran mengenai kebahagiaan. Bila dilihat lebih lanjut, kebahagiaan terlihat sangat abstrak dan subjektif. Bisa jadi, masing-masing orang memiliki makna orientasi dan makna kebahagiaan yang berbeda-beda. Oleh karena itulah kebahagiaan seringkali dikaitkan dengan kesejahteraan subjektif (subjective well-being). Tapi, pada dasarnya, kebahagiaan merupakan emosi universal yang penting (Compton, 2005) dan
didambakan dalam kehidupan setiap orang (Argyle, 2001). Kebahagiaan dapat
dijadikan sebagai salah satu bagian dari indikator kualitas hidup seseorang
(Munson & Resnick, 2012), yang manakebahagiaan merupakan aspek penting dalam
menciptakan kesejahteraan subjektif seseorang (Lu & Gilmour, 2004) dan
menjadi variabel penting untuk menemukan makna hidup (Baumeister, Vohs, Aaker,
& Garbinsky, 2014). Hal tersebut diperkuat dengan pendapat Lu &Gilmour
(2004) yang menyatakan bahwa kebahagiaan dipandang sebagai suatu tujuan, yaitu
adanya harapan kehidupan masing-masing orang berakhir bahagia meskipun memiliki
cara dan pengalaman yang berbeda-beda dalam meraihnya.
Salah satu cara untuk menguatkan emosi positif, khususnya untuk
meningkatkan kebahagiaan, dapat dilakukan dengan mengumpulkan pengalaman-pengalaman
positif dari masing-masing individu (Rausch, 2013). Penguatan emosi positif
akan membuat seseorang mengumpulkan pengalaman positif (positive experience) sehingga mampu mengubah pengalaman negatif (stressful experience) secara adaptif
(Vulpe & Dafinoiu, 2012). Senada dengan pendapat tersebut, Baumeister,
Vohs, Aaker, & Garbinsky (2014) menyatakan bahwa peningkatan kebahagiaan
akan berperan dalam penurunan tingkat kecemasan, kekhawatiran, dan kondisi
tertekan (stress). Untuk mencapai hal
tersebut, langkah intervensi yang dilakukan dapat dimulai dengan cara mengubah
perilaku yang diiringi dengan pembenahan kognisi masing-masing individu
tersebut (Vulpe & Dafiniou, 2012).
Pembentukan emosi positif tersebut sedikit banyak juga dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan serta bagaimana sebuah institusi dapat dijadikan sebagai
lingkungan yang positif (institusi positif) dan mendukung peningkatan atau
penguatan emosi positif dalam diri seseorang. Hal tersebut dinyatakan secara
implisit oleh Seligman (2002) dalam bukunya yang berjudul Autenthic Happiness,
“positive
institution that support the virtues”
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa institusi postif (positive institution) merupakan salah
satu pilar utama dari kajian psikologi positif yang mendukung penguatan emosi
positif masyarakat di dalam sebuah lembaga atau institusi melalui serangkaian
program atau langkah-langkah intervensi.
Larry Starr (dalam
Greenberg, 2007) menyatakan terdapat 3 elemen penting untuk menciptakan positive institution, yaitu adanya transparansi,
adanya misi dan usaha/langkah untuk mencapai visi tersebut, serta kemampuan
untuk mengatasi masalah/kesulitan/konflik secara konstruktif. Lebih lanjut,
Katy (dalam Greenberg, 2007) menambahkan bahwa pembentukan positive institution juga ditentukan oleh karakter pemimpin. Dalam
hal ini, pemimpin menjadi faktor pendukung untuk membangun kesadaran dan
membangun hubungan interpersonal dengan masyarakat di bawahnya guna mencapai
tujuan (Rausch, 2013). Hubungan interpersonal masyarakat dalam suatu institusi
atau lembaga juga penting dalam penciptaan positive
institution. Pandangan tersebut didasarkan pada karakteristik orang-orang
dari budaya timur, yaitu pencapaian kebahagiaan dikaitkan dengan terciptanya
harmoni sosial (Uchida & Kitayama, 2009) dan dipengaruhi oleh persepsi diri
yang terbentuk dalam sebuah hubungan sosial (Uchida, Norasakkunkit & Kitayama, 2004).
Dalam prakteknya, positive institution cenderung
diaplikasikan pada intervensi pada level makro, yang memperhatikan peran hope, efficacy, resiliency, dan optimism masyarakat di dalamnya (Cascio
& Luthans, 2014). Pandangan ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan
oleh Vulpe & Dafinoui (2012), yang menyatakan bahwa resiliensi (kemampuan
untuk bangkit kembali dari pengalaman negatif dan menyesuaikan diri dengan
perubahan dari pengalaman yang stressful)
akan membantu peningkatan strategi koping dalam pengumpulan pengalaman positif
sehingga meningkatkan atau menguatkan positive
emotion dalam diri masing-masing individu (Vulpe & Dafinoui, 2012). Dari
dua penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa penciptaan suatu lembaga atau
institusi positif akan membantu memudahkan masyarakat di dalamnya untuk
mengumpulkan pengalaman positif yang mampu meningkatkan kebahagiaan untuk
mereka. Disamping itu, proses pembentukan positive
institution juga membutuhkan agen perubahan sosial untuk melakukan berbagai
macam tindakan atau intervensi, yang mana hal tersebut membutuhkan kerja sama
individu, kelompok/komunitas dan pemimpin dalam suatu kelompok/komunitas
(Rausch, 2013).
Pemaparan di atas
disimpulkan bahwa pembentukan institusi positif dilakukan dengan cara mengubah
pola pikir atau cara pandang dengan memanfaatkan segi keilmuan atau pengetahuan
dan mengubah perilaku negatif ke arah positif dengan menggunakan pendekatan
budaya setempat. Selanjutnya, proses penciptaan institusi positif (positive institution) untuk meningkatkan
kebahagiaan masyarakat, dapat diringkas ke dalam bagan berikut:
Bagan 1. Positive
institution dalam meningkatkan kebahagiaan dalam masyarakat
Daftar Pustaka
Argyle, M. (2001). The Psychology of Happiness. New York:
Routledge.
Baumeister, R.F., Vohs, K.D., Aaker, J.L.,
Garbinsky, E.N. (2014). Some key differences between a happy life and a
meaningful life. Journal of Positive Psychology, ________
Cascio,
W.F., & Luthans, F. (2014). Reflections on the metamorphosis at Robben
Island: The role of institutional work and positive psychological capital. Journal of Management Inquiry, 23 (1),
51-67.
Compton, W. C. (2005). Introduction to Positive Psychology. California: Thomson Wadsworth.
Greenberg, M. (2007).
Positive Psychology and Institution: Highlights from A Panel Discussion,
diunduh dari http://positivepsychologynews.com/news/margaret-greenberg/2007011435 pada tanggal 31 Mei 2014
pukul 13.25
Terima kasih juga kepada: Ardi Primasari, Arini Pinondang, Clara L. Wibowo, Novi Ernilawati, dan Retno Utari K atas kontribusi untuk tulisan ini. Tulisan ini adalah pengembangan pemikiran ketika mata kuliah Psikologi Positif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar