Jumat, 03 September 2010

Scale of Measurement

Melihat judul tulisannya, rasanya agak "wow", hahaahahaa, pun diriku, yang sejatinya alasan dibalik tulisan ini adalah "karena aku tidak paham", jadi mencoba memahaminya dengan menuliskan ulang apa yang telah kupelajari sewaktu kuliah PAUP (Perancangan Alat Ukur Psikologi) tadi pagi. Hehee... terlepas dari itu semua,, harapannya sih juga bermanfaat bagi yang membaca ini.

Nah, pelajaran yang kudapatkan hari ini adalah tentang empat jenis skala ukur dan perbedaan-perbedaannya. Menurut Steven (dalam Azwar, 1999), terdapat empat jenis skala ukur, yaitu sebagai berikut:
1. Skala Nominal
  • Dua angka menunjukkan objek yg berbeda (Different), contohnya: nomor ruangan (202 dg 302)
  • Tidak berlaku operasi hitung
  • Tidak punya order/ranking
  • Tidak menunjukkan jarak/distance
  • Tidak punya unique origin atau angka 0 mutlak 
  • Dapat mengalami transformasi isomorfik, yaitu angkanya boleh diganti asal tetap menunjukkan identifikasi perbedaan (tidak berubah fungsi & makna)
2. Skala Ordinal
  • Menunjukkan objek yg berbeda, tetapi sudah memiliki order/peringkat
  • Tidak jelas jarak/distance antara kedua objek
  • Tidak berlaku operasi hitung
  • Dapat mengalami transformasi monotonik (angka-angka ordinalnya dpt diubah, tetapi harus menunjukkan urutan yg sama)
 3. Skala Interval
  • Menunjukkan perbedaan dan tingkatan/ urutan
  • Mempunyai jarak
  • Bisa dikenai operasi hitung
  • Dapat mengalami transformasi linear, yaitu angka-angkanya bisa diubah asalkan skala/range/perbandingan tetap/sama
  • Angka-angkanya bersifat parametrik (untuk statistik parametrik), misalnya: IQ (WAIS), suhu
  • Catatan: Skala psikologi :  hasil ukurnya biasanya berupa ordinal, untuk mendapatkan hasil ukur interval ---cara yg digunakan : distandarkan atau diskalakan
4. Skala Rasio
  • Hanya ada dalam pengukuran fisik
  • Menunjukkan perbedaan, order, jarak, unique origin
  • Grafik y=mx, maksudnya melewati titik 
  • Berlaku operasi hitung

Buku Acuan:
Azwar, S. 1997. Reliabilitas & Validitas, Edisi 3. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Azwar, S. 1999. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 

Minggu, 25 April 2010

Forgiveness: Memaafkan Bukanlah Sekedar Melupakan

Beberapa ahli sudah banyak yang membahas, bahkan meneliti tentang permaafan. Diantara ahli-ahli tersebut, didapatkan penjelasan, bahwa Forgiveness merupakan salah satu mekanisme untuk mengurangi atau menghilangkan sifat alami menghindar dan balas dendam, dengan cara menolak atau membuang respon negatif terhadap seseorang (McCulough & Worthington, 1999). Sedangkan Freedman (1998) mengungkapkan forgiveness merupakan proses berdamai, yang secara tidak langsung merujuk pada perbaikan akan suatu hal atau hubungan yang retak. 
Memaafkan bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan, terlebih lagi jika orang atau kejadian yang dialaminya terasa menyakitkan hingga mengancam kesejahteraan dirinya. Hal tersebut pun pada akhirnya membuat seseorang mengakhiri ketidaknyamanan yang terjadi dengan cara melupakan, sehingga terkadang pandangan antara memaafkandan melupakan hanyalah beda tipis. Secara latah pun orang akan menganggap suatu urusan selesai bila sudah tercapai kesepakatan untuk melupakan. Padahal, dari asal katanya sendiri memaafkan tidaklah sama dengan melupakan, forgiving berbeda dengan forgetting, excusing, pardoning, condoning, maupun denial. Seseorang bisa dikatakan memaafkan bila di dalam dirinya sudah melepaskan permasalahan yang dulunya dipandang menyakitinya, sehingga saat masalah tersebut diungkit sudah tidak ada reaksi fisik maupun reaksi emosi yang terlibat di dalamnya. Ternyata tidak sesimpel sekedar melupakan bukan?
Setelah membaca penjelasan di atas, mungkin dalam diri pembaca ada yang bertanya, "Lalu, jika demikian, bagaimana bisa aku memaafkannya, ketika ini terasa sangaaat menyakitkan?"
atau pertanyaan, "Aku sudah memaafkannya kok, buktinya hal itu sudah tidak menggangguku, bahkan aku tidak memikirkannya." Jikalau pertanyaan ini masih ada, sesungguhnya dalam diri kita sedang proses melupakan, bukan memaafkan. Tanpa diakui pun sebenarnya kita masih merasakan reaksi atas rasa sakit atau kecewa karena hal yang belum kita maafkan. Iya kan? Heheee...
"Terus, aku kudu piye?" Bahkan seringkali pertanyaan ini yang akan dilontarkan pasca menyadari hal itu.  
Hey, jangan berkecil hati dulu, setiap orang pasti pernah berada di fase itu, tinggal bagaimana kita belajar untuk memaafkan dan menjadi lebih baik dibanding sebelumnya.
Saya pernah membaca sebuah artikel mengenai 9 langkah memaafkan, tapi maaf saya lupa sumbernya (mungkin bisa dibenahi lain kali), yaitu sebagai berikut:
  1. Kenali perasaanmu dan ceritakan pada orang yang dapat dipercaya.
  2. Buatlah komitmen apa yang harus kamu lakukan untuk merasa lebih baik.
  3. Temukan kedamaian.
  4. Dapatkan persepsi yang benar mengenai apa yang sebenarnya terjadi. 
  5. Praktekkan manajemen stres. 
  6. Berhenti berharap akan sesuatu yang tidak bisa kamu miliki
  7. Cari alternatif lain untuk mencapai tujuan hidup yang positif
  8. Pahami bahwa memiliki kehidupan yang baik adalah “balas dendam” yang terbaik. 
  9. Jadikanlah pengalaman memaafkanmu itu sebagai sebuah pilihan yang heroik.
Kalau cara itu belum berhasil untukmu, mungkin kita bisa mendiskusikan manfaat dari memaafkan itu sendiri bagi kita. Pernahkah terpikirkan olehmu bila memaafkan itu memberikan manfaat fisik dan psikis bagi kita?
Kalau belum, saya jabarkan nih

Manfaat bagi kesehatan fisik yang akan kita rasakan, antara lain:
  1. Aktivitas hormon dan tekanan darah lebih stabil
  2. Otot menjadi lebih rileks. 
  3. Terhindar dari penyakit-penyakit akibat stres seperti sakit punggung bagian bawah dan sakit perut.


Manfaat bagi kesehatan mental kita antara lain:
1. Forgiveness memicu terciptanya keadaan baik dalam pikiran
2. Forgiveness menurunkan emosi negatif.
3. Meningkatkan kemampuan mengendalikan diri.  
4. Menghilangkan stress dan balas dendam.

Kalau kita tinjau lebih jauh lagi, ternyata reaksi fisik tidak memaafkan itu ternyata sama dengan reaksi fisik ketika kita mengalami stres. Berikut penjelasannya:


 SO, pilih yang mana? memaafkan atau tidak?





Selasa, 23 Februari 2010

Berfungsi Sepenuhnya : Sehat Mental Menurut Rogers


Dalam dunia Psikologi terdapat banyak pandangan mengenai orang yang memiliki mental yang sehat. Masing-masing pendekatan memiliki sudut pandang secara khas. Untuk kesempatan kali ini, sya akan berbagi tentng konsep sehat mental dari Carl Rogers, salah satu tokoh yang menekuni pendekatan humanistik. Tulisan ini sepenuhnya saya ringkas dari Buku Growth Psychology yang ditulis oleh Dianne Schultz.

Tulisan ini memang diawali dari ketertarikan saya terhadap pendekatan humanistik, dan saya senang berbagi dengan para pembaca. Tapi, jika Saudara ingin menggunakan referensinya, mohon digunakan secara bijak dan etis.

Pokok-pokok Pendekatan Rogers terhadap Kepribadian

Rogers mengembangkan suatu metode terapi, yaitu “terapi terpusat pada klien” (client-centered therapy), yang menempatkan tanggung jawab utama terhadap perubahan kepribadian klien. Hal tersebut didasarkan pada pandangan bahwa kepribadian harus diperiksa dan dipahami melalui segi pandangan pribadi klien dan pengalaman-pengalaman subjektifnya sendiri.Jadi, persepsi setiap klien tentang realitas dipandang sebagai persepsi yang unik.

Rogers juga memandang bahwa kodrat manusia adalah makhluk yang sadar dan rasional

Sadar

maksudnya adalah orang-orang dibimbing oleh persepsi sadarnya terkait diri mereka dan dunia sekitar mereka, bukan oleh kekuatan-kekuatan tak sadar yang tidak dapat mereka kontrol.kriterium terakhir seseorang adalah pada pengalaman sadarnya sendiri dan pengalaman itu memberikan kerangka intelektual dan emosional dimana kepribadian terus-menerus bertumbuh.

Rasional

Maksudnya adalah tidak dikontrol oleh peristiwa masa kanak-kanak, lebih mementingkan untuk memandang masa sekarang dan bagaimana kita memandangnya bagi kepribadian yang sehat daripada masa lampau. Dalam hal ini pengalaman-pengalaman masa lampau dapat mempengaruhi cara pandang di masa sekarang dan juga mempengaruhi tingkat kesehatan psikologis kita.

Motivasi Orang yang Sehat : Aktualisasi

Setiap segi pertumbuhan dan perkembangan manusia terkait erat dengan kecenderungan aktualisasi diri, sebab aktualisasi diri merupakan komponen-komponen pertumbuhan fisik dan psikologis “kebutuhan fundamental” manusia yang dibawa sejak lahir disamping memeliharakan dan meningkatkan semua segi individu. Pertumbuhan dari segi fisiologis cenderung terjadi dan lebih didominasi pada tahun-tahun awal kehidupan. Kecenderungan aktualisasi pada tingkat fisiologis mendorong individu ke depan dari salah satu tingkat pematangan ke tingkat pematangan berikutnya, yaitu memaksanya untuk menyesuaikan diri dan tumbuh. Aktualisasi-diri adalah proses menjadi diri sendiri dan mengembangkan sifat-sifat serta potensi-potensi psikologisya yang unik. Orang yang sehat secara psikologis cenderung mengaktualisasikan diri untuk mencapai tujuan hidup, tidak hanya sekedar mempertahankan suatu keseimbangan homeostatis atau suatu tingkat ketentraman dan kesenangan yang tinggi, tetapi juga pertumbuhan dan peningkatan. Aktualisasi diri ditentukan oleh kekuatan-kekuatan sosial dan bukan oleh kekuatan-kekuatan biologis. Aktualisasi diri dapat dibantu namun juga dapat dihalangi oleh pengalaman dan oleh belajar, terutama dalam masa kanak-kanak. Kecenderungan khusus ke arah aktualisasi diri ditandai dengan pematangan dan perkembangan seluruh organisme yang sama sekali tidak dipengaruhi oleh belajar dan pengalaman.

Pengembangan Diri

Setiap individu akan mengembangkan self-concept-nya terutama di masa kecilnya yang sangat dipengaruhi oleh ibu. Cara-cara khusus bagaimana diri berkembang dan apakah dia akan menajdi sehat atau tidak tergantung pada cinta yang diterima anak itu pada masa kecil. Dalam individu yang sehat dan yang mengaktualisasikan diri muncullah suatu pola yang berkaitan dengan self-concept secara konsisten.

Pengembangan pribadi sehat menurut Rogers

Kepribadian yang sehat akan tumbuh tergantung pada pemuasan kebutuhan akan positive regard, terutama kasih sayang dan cinta ibu.Syarat utama timbulnya kepribadian sehat adalah Unconditional Positive Regard (UPR) pada masa kecil; akan berkembang jika ibu memberikan cinta dan kasih sayangnya tanpa memperhatikan bagaimana anak bertingkah laku. Anak yang mendapat UPR akan merasa dicintai dan dihargai oleh ibunya, anak akan mencintai dan menghargai dirinya (positive self regard). Anak yang memiliki positive self regard, dalam kondisi apapun tidak takut untuk menyadari (melambangkan, memahami, dan menerima) pengalaman-pengalaman dan emosi dalam kehidupannya. Pengalaman dan emosi (positif atau negatif) yang disadari tersebut akan diorganisasikan dalam struktur self-nya. Anak yang mampu mengorganisasikan pengalaman ke dalam struktur self-nya, mengalami congruence antara real self dan ideal self, sehingga anak dapat mengaktualisasikan dirinya (mengembangkan potensi-potensinya, sehingga menjadi orang yang berfungsi sepenuhnya/ fully functioning person).

Pengembangan pribadi tidak sehat
Pribadi yang tidak sehat timbul karena adanya Conditional Positive Regard (CPR), karena masa kecil kurang terpenuhinya positive regard. Anak harus bekerja keras untuk mendapatkan positive regard dengan mengorbankan aktualisasi diri. Kasih sayang dan cinta yang diterima anak adalah syarat terhadap tingkah lakunya yang baik, sehingga anak merasa berharga atau memiliki harga-diri hanya dalam syarat-syarat tertentu.

Pengembangan diri yang terjadi pada anak CPR :

1. menginternalisasikan sikap-sikap ibu secara bersyarat.

2. menimbulkan sikap defensif dalam tingkah laku anak, sehingga kebebasan individu terbatas, kodarat atau dirinya yang sejati tidak dapat diungkap sepenuhnya.

3. tidak melambangkan pengalamannya (tidak terbuka dengan lingkungan, karena merasa tidak sesuai dengan struktur self, sehingga anak mengembangkan ketidakharmonisan/incongruence antara real self dan ideal self).

Orang yang Berfungsi Sepenuhnya
Menurut Rogers, orang yang berfungsi sepenuhnya (berkepribadian sehat) adalah orang yang bisa mengaktualisasikan diri :
- Aktualisasi diri berlangsung terus, tidak pernah merupakan kondisi yang selesai atau statis, berorientasi ke masa depan

- Aktualisasi diri merupakan suatu proses yang sukar dan kadang-kadang menyakitkan, sehingga membutuhkan keberanian untuk melakukannya. Hasil sampingan dari perjuangan aktualisasi diri adalah kebahagiaan.

- Orang-orang yang mengaktualisasikan diri adalah orang-orang yang menjadi diri mereka sendiri.

- Orang-orang yang mengaktualisasikan diri tidak hidup di bawah hukum-hukum yang diletakkan orang-orang lain.

Lima Sifat Orang yang Berfungsi Sepenuhnya

1. Keterbukaan pada pengalaman

Merupakan lawan dari defensif, sebab setiap pendirian dan perasaan yang berasal dai dalam dan dari luar disampaikan ke sistem syaraf organisme tanpa distorsi/ rintangan. Kepribadian adalah fleksibel, tidak hanya mau menerima pengalaman-pengalaman yang diberikan oleh kehidupan, tetapi juga dapat menggunakannya dalam membuka kesempatan-kesempatan persepsi dan ungkapan baru. orang yang terbuka terhadap pengalaman akan lebih ”emosional” (mengalami banyak emosi yang bersifat positif dan negatif) dan mengalami emosi-emosi itu lebih kuat dibanding orang-orang yang defensif.

2. Kehidupan eksistensial

Yaitu orang-orang yang dapat menyesuaikan diri, karena struktur diri terus-menerus terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru

3. Kepercayaan terhadap diri sendiri

Orang yang berfungsi sepenuhnya dapat mampu memutuskan tindakan, tingkah laku menurut apa yang dirasakan benar (percaya akan keputusannya), serta mampu mempertimbangkan setiap informasi yang didapat dalam berbagai macam situasi. Semua segi organisme (sadar, tak sadar, emosional, dan juga intelektual)mampu dianalisis berdasarkan keterkaitan dengan masalah yang ada. Sedangkan, orang-orang defensif membuat keputusan menurut larangan-larangan yang membimbing tingkah lakunya.

4. Perasaan bebas

Orang yang berfungsi sepenuhnya akan mengalami kebebasan untuk memilih dan bertindak, atanpa adanya paksaan-paksaan atau rintangan-rintangan antara alternatif pikiran dan tindakan. Orang tersebut akan memiliki perasaan berkuasa sepenuhnya secara pribadi mengenai kehidupan dan percaya bahwa masa depan tergantung pada dirinya. Sedangkan orang defensif tidak dapat mewujudkan pilihan bebas itu ke dalam tingkah laku yang aktual.

5. Kreativitas

Orang yang befungsi sepenuhnya sangat kreatif, bertingkah laku spontan, berubah, bertumbuh, dan berkembang sebagai respons atas stimulus-stimulus kehidupan yang beraneka ragam sekitar mereka. Orang-orang yang kreatif dan spontan tidak terkenal karena konformitas atau penyesuaian diri yang pasif terhadap tekanan-tekanan sosial dan kultural.

Daftar Pustaka

Schultz, D. (1991). Psikologi Pertumbuhan: Model-model Kepribadian Sehat (terjemahan). Yogyakarta: Kanisius.