Selasa, 17 Juni 2014

Mahatma Gandhi: Kepemimpinan Karismatik Berbasis Ajaran Satyagraha dan Ahimsa


We must become the change we want to see –Mahatma Gandhi–
A new leader has to able to change an organization that is dreamless, soulless, and visionless…someone’s got to make a wake up call –Warren Bennis–

Kali ini, saya akan membahas tentang salah tokoh yang sangat berpengaruh di dunia ini. Awalnya, tulisan ini hanyalah sebuah pemenuhan tugas, tapi setelah proses yang saya jalani selama menulis, entah kenapa saya terinspirasi oleh tokoh yang familiar disapa "Gandhi" ini. Berangkat dari hal tersebut lah saya ingin berbagi kepada teman-teman semua. Semoga bermanfaat :)

Kepemimpinan merupakan salah satu unsur penting dalam sebuah dinamika kelompok atau organisasi. Dalam lingkungan organisasi, kualitas kepemimpinan menjadi faktor penentu bagi kesuksesan organisasi atau kelompok (Siagian, 2010; Silverthone, 2009). Hal tersebut dikarenakan pemimpin memegang peranan sebagai penggerak, atau dapat pula dikatakan sebagai sosok yang mampu mempengaruhi anggotanya untuk mencapai tujuan kelompok atau organisasi (Robbins, 2003). Saat kita membicarakan mengenai pengaruh, maka fokus kita adalah membahas “hal-hal” yang diberikan pemimpin sehingga orang lain tergerak untuk menuju tujuan organisasi/kelompok (Qori, 2013). 

Pada bahasan kali ini, saya akan mengangkat mengenai kepemimpinan Mahatma Gandhi, salah satu tokoh pemimpin yang dikenal mampu mengubah dan menginspirasi dunia. Mahatma Gandhi, yang memiliki nama lengkap Mohandas Karamchad Gandhi, lahir pada tanggal 2 Oktober 1869 di Pontabar, India (sekarang disebut Gujarat). Mahatma Gandhi, yang memiliki arti berjiwa hebat atau berjiwa agung, merupakan pemimpin spiritual dan politikus yang terlibat dalam Gerakan Kemerdekaan India. Selama menjadi pemimpin, Gandhi selalu mengajarkan nilai-nilai kesederhanaan, berdasarkan ajaran Hindu, yaitu kebenaran dan keteguhan (Satya) serta non-kekerasan (Ahimsa). 

Penerapan Ahimsa mulai dilakukan oleh Gandhi saat menjadi aktivis politik dengan melakukan gerakan perlawanan pasif-nonkooperatif melawan hukum (penguasa Afrika Selatan). Gerakan ini bertujuan untuk mengubah hukum-hukum diskriminatif yang diberlakukan, dimulai dengan melarang warga kulit hitam Afrika, kulit berwarna, dan warga India untuk bepergian tanpa identitas. Disamping itu, Gandhi mampu menyatukan rakyat India yang memiliki latar belakang agama dan suku yang berbeda, dengan cara mengambil sisi positif dari masing-masing agama. Gandhi mengajarkan kepada rakyat India untuk menghargai hak orang lain yang berbeda agama atau suku, serta mengajak rakyat untuk hidup bersama secara damai dalam satu negara. Gandhi juga memimpin orang India untuk melakukan aksi “demonstrasi damai” dan mogok kerja, sehingga Gandhi mendapatkan simpati dari ribuan orang atas keberaniannya dalam menerapkan ajarannya. Gerakan tersebut didasarkan pada prinsip Satyagraha (jalan menuju kebenaran), yang dalam perkembangannya, prinsip Satyagraha tersebut mampu menginspirasi tokoh dunia lain, diantaranya Martin Luther King, Jr. dan Nelson Mandela. Berdasarkan fenomena tersebut, dapat dikatakan bahwa pengaruh kuat yang diberikan Gandhi kepada orang lain dengan cara menunjukkan aksi damai menuntut kemerdekaan tanpa kekerasan tersebut mampu menggerakkan rakyat India untuk menerapkan ajarannya serta menggerakkan hati nurani musuh (penjajah Inggris) untuk menghentikan kesewenangannya. Perjuangan tersebut pun mampu membawa rakyat India pada kebebasan.

Berkaitan dengan kemampuan mempengaruhi tersebut, efektivitas kepemimpinan seseorang hingga kemampuan seorang pemimpin untuk menginspirasi atau mengubah perilaku bawahannya dengan menggunakan pengaruhnya, sangat ditentukan oleh tipe atau gaya kepemimpinan yang digunakannya. Gaya kepemimpinan dapat dikatakan sebagai batasan atau norma perilaku pemimpin selama proses mempengaruhi orang lain (Robbins, 2003). Masing-masing pemimpin akan menggunakan gaya kepemimpinan yang berbeda-beda, disesuaikan dengan karakter pemimpin dan situasi dalam kelompoknya (konteks organisasional). Dalam hal ini, gaya kepemimpinan Mahatma Gandhi tersebut dapat dikatakan sebagai gaya kepemimpinan karismatik. 

Gaya “Kepemimpinan Karismatik” merupakan salah satu gaya kepemimpinan yang mampu membuat suatu perubahan besar terhadap bawahannya didasarkan pada pengaruh yang dilakukannya (Qori, 2013; Yukl, 2005), yang mana pemimpin menciptakan atmosfir motivasi atas dasar komitmen dan identitas emosional terhadap visi, filosofi, dan gaya kepemimpinannya ke dalam diri bawahannya (Ivancevich, Konopaske, & Matteson, 2008). Bahkan sebagian orang memandang pemimpin karismatik sebagai pahlawan atau sosok yang menginspirasi bawahannya (Weber, dalam Robbins, 2003; Weber, 1947), sekalipun dirinya sudah meninggal dunia. Dengan demikian, seorang pemimpin yang dianugerahi kekuatan karismatik dan kemampuan untuk memotivasi orang lain cenderung lebih mudah untuk menggerakkan bawahannya agar mencapai kinerja yang optimal. Pemimpin tersebut akan diterima dan dipercaya sebagai orang yang dihormati dan ditaati secara sukarela, sehingga bawahannya akan mematuhi dan meniru pandangan pemimpin tanpa atau dengan sedikit perubahan (Qori, 2013). Berdasarkan penjelasan tersebut, gaya kepemimpinan karismatik Mahatma Gandhi ditunjukkan dengan adanya pengaruh ajaran Satya dan Ahimsa yang kuat terhadap rakyat India dan orang-orang di luar India, sehingga mampu memotivasi dan menginspirasi mereka untuk memperjuangkan kemerdekaannya dengan menerapkan prinsip-prinsip yang telah diajarkannya. Gandhi menyelipkan visi misi dan filosofi hidup ke dalam tujuan-tujuan ideologisnya dengan menggunakan daya tarik pribadinya (kekuatan karismatik), sehingga Gandhi mampu menghubungkan visi kelompok dengan nilai-nilai, cita-cita dan aspirasi rakyat India yang mengakar kuat ke dalam komitmen dan identitas emosional para pengikutnya. 

Berdasarkan ciri dan perilaku kepemimpinan karismatik yang diuraikan oleh Yukl (2005), hasil dari penerapan gaya kepemimpinan Gandhi terhadap orang yang dipimpinnya dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Menyampaikan sebuah visi yang menarik
Gandhi mengajukan visi yang mampu menginspirasi pengikut dan orang lain yang mengenalnya. Selama perjuangan kemerdekaan India, Gandhi memiliki visi “Menegakkan Kebenaran Tanpa Kekerasan” (Prinsip Satyagraha-Ahimsa). Pada dasarnya, tipe pemimpin karismatik dibedakan menjadi dua tipe yaitu karismatik visioner dan karismatik di masa krisis (Ivancevich, Konopaske, & Matteson, 2008). Berdasarkan visi tersebut, Mahatma Gandhi cenderung memiliki gaya kepemimpinan karismatik visioner, dimana dirinya memiliki pandangan yang jauh ke depan untuk bangsanya dan mencapai tujuan tersebut melalui penerapan prinsip Satyagraha-Ahimsa.

2. Menggunakan bentuk komunikasi yang kuat dan ekspresif saat mencapai visi itu
Bentuk komunikasi Gandhi memiliki daya tarik pribadi (kekuatan karismatik) tersendiri bagi orang yang dipimpinnya. Para pengikutnya memandang Gandhi berani mengekspresikan karakter pribadinya yang sangat inspiratif dan mampu menciptakan pengaruh yang kuat saat mengajarkan prinsip-prinsip hidupnya kepada para pengikutnya. Gaya komunikasi tersebut pun mampu mengantarkan Gandhi mencapai visinya, misalnya saat Gandhi menulis surat kepada pemerintahan Inggris di Afrika Selatan dan menulis di surat kabar dengan menggunakan gaya bahasa yang komunikatif, sehingga para pembaca (penguasa) tersentuh dengan tulisan Gandhi.

3. Mengambil resiko pribadi dan membuat pengorbanan diri untuk mencapai visi itu
Pengorbanan diri dan pengambilan resiko yang dilakukan Gandhi untuk mencapai visi ditunjukkan dengan keberanian untuk melawan penguasa melalui gerakan perlawanan pasif-nonkooperatif melawan hukum diskriminatif, serta melakukan aksi “demonstrasi damai” dan mogok kerja yang diikuti oleh ribuan rakyat India.

4. Menyampaikan harapan yang tinggi dan memperlihatkan keyakinan kepada pengikutnya
Harapan-harapan Gandhi tersebut disampaikan melalui ajaran-ajarannya yang mampu membangkitkan semangat dan keyakinan bagi para pengikutnya (Gandhi, 2009), seperti yang telah dicontohkan di atas. Gandhi juga diberkahi keyakinan diri dan ketenangan. Keyakinan yang kuat dalam diri Gandhi ditunjukkan melalui sikapnya yang tidak pernah takut terhadap ancaman apapun dengan mengatakan, “Jika Tuhan telah melindungi dari dalam, maka perlindungan dari luar tidak diperlukan.” Hal tersebut berhasil menciptakan keyakinan yang kuat dalam diri para pengikutnya untuk mencapai harapan tersebut.

5. Pembuatan role model dari perilaku yang konsisten dari visi tersebut
Gandhi pun menjadi role model bagi para pengikutnya, apapun yang dikatakan dan dilakukan akan ditiru dan dilaksanakan oleh para pengikutnya. Para pengikut tersebut memandang perilaku dan ucapan Gandhi sebagai bentuk perilaku yang konsisten akan visi mereka. Salah satu contohnya adalah saat Gandhi menerapkan ajarannya untuk melawan penjajah Inggris dengan cara menggabungkan prinsip Satyagraha dan Ahimsa, sehingga terbentuklah militant-tanpa kekerasan, perang tanpa kekerasan, dan moral jiu-jitsu

6. Mengelola kesan pengikut terhadap pemimpin
Perilaku dan ajaran yang disampaikan oleh Gandhi tersebut mampu mendorong para pengikutnya tergabung dalam gerakannya secara sukarela. Bahkan seorang Mahatma Gandhi pun mampu mengubah Motilal Nehru yang terbiasa dengan kemegahan menuju sifat kesederhanaan. Karisma yang diberikan Gandhi tersebutlah yang mampu membuat para pengikutnya merasa terkesan sehingga mengikuti setiap ajarannya. Hal tersebut juga ditegaskan dalam tulisan Copley (1987) yang mengatakan, “Pengaruh moral Gandhi terhadap para pengikutnya sangat menakjubkan.”

7. Membangun identifikasi dengan kelompok atau organisasi
Gandhi membangun identifikasi kelompok melalui sikap nasionalisme dan patriotis kepada para pengikutnya melalui pandangannya tentang kemerdekaan India. Gandhi menyatakan bahwa kemerdekaan tersebut merupakan milik semua orang India, terlepas dari ras, agama, kasta atau warna yang berbeda, karena semua rakyat India hidup dalam persahabatan yang sempurna serta berhak memperjuangkan dan menikmati kemerdekaan tersebut. Alhasil, hal tersebut pun mampu menyatukan rakyat India.

Nah dari kisah beliau, saya memiliki kesan pribadi terhadap model kepemimpinan Mahatma Gandhi, yaitu sebagai berikut:

Kelebihan Kepemimpinan Karismatik Mahatma Gandhi
ü Bersifat visionary, inspirational, decisive, performance oriented, dan high levels of personal integrity
ü Karisma (daya tarik) yang ditunjukkan Gandhi mampu mengubah pandangan atau perilaku dari bawahannya serta menggerakkan mereka menuju visi yang telah disampaikannya. Hal tersebut membuat Gandhi berhasil menyatukan rakyat India untuk memperjuangkan hak-haknya dan meraih kemerdekaan (menegakkan kebenaran tanpa kekerasan)
ü Gandhi dapat menjalankan visi misi kelompok melalui perilaku kepemimpinannya serta mampu menciptakan pengaruh yang memberikan dampak positif bagi para pengikutnya, seperti menginspirasi bawahannya, sehingga memunculkan semangat atau motivasi yang tinggi, dan membuat bawahan menjadi bagian dari kepemimpinan Gandhi
ü Sesuai untuk diterapkan dengan latar belakang budaya dan situasi sosial yang sangat berisiko di India saat itu. Gaya kepemimpinan karismatik yang ditunjukkan Gandhi mampu mengatasi persaingan dalam dunia politik, mengobarkan semangat juang saat perang kemerdekaan India, dan saat menghadapi persaingan agama atau krisis yang mengancam bagi kelangsungan hidup rakyat India

Kelemahan Kepemimpinan Karismatik Mahatma Gandhi
− Cenderung mengembangkan kombinasi hubungan pemimpin-bawahan dengan menggunakan atribut-atribut yang disenangi bawahan, sehingga kurang terlihat memberikan delegasi atau wewenang kepada bawahan. Gaya kepemimpinan ini kurang cocok bila diterapkan secara murni dalam dunia pemerintahan atau pucuk pimpinan suatu negara (presiden), sehingga perlu dipadukan dengan gaya kepemimpinan transformasional.
− Kurang efektif bila diterapkan dalam kondisi pemerintahan yang sudah melewati masa krisis, karena bawahan juga membutuhkan arahan yang membawa mereka menuju implementasi visi yang mampu memimpin dirinya sendiri dan berbuat lebih dari yang ditargetkan, bukan hanya pandangan pribadi.
- Terkadang Gandhi kurang menyadari dirinya telah menempatkan prinsip hidup atau tujuan pribadi terlalu tinggi sehingga terkesan berada di atas pandangan kelompok. Akibatnya, Gandhi tidak menyadari bahwa dirinya dipandang terlalu membela Muslim hingga seseorang merasa kesal dan berhasil menembaknya.

Daftar Pustaka
Ivancevich, J.M., Konopaske, R., & Matteson, M.T. (2008). Perilaku dan Manajemen Organisasi (terjemahan). Jakarta: Erlangga.
Gandhi, M.K. (2009). Mahatma Gandhi: Sebuah Autobiografi (terjemahan). Yogyakarta: NARASI.
Qori, H.I.L.A. (2013). Kepemimpinan karismatik versus kepemimpinan transformasional. Analisa 1, (2), 70-77.
Robbins, S.P. (2003). Organizational Behavior (10th edition). New York: Prentice Hall, Inc.
Siagian, S.P. (2010).Teori dan Praktek Kepemimpinan. Jakarta: Rineka Cipta.
Silverthone, C. P. (2009). Organizational Psychology in Cross-Cultural Perspective. New York: New York University Press.
Weber, M. (1947). The Theory of Social and Economic Organization. New York: Oxford University Press.
Yukl, A. G. (2005). Kepemimpinan dalam Organisasi Edisi ke-5 (terjemahan). Jakarta: Indeks.


Kamis, 05 Juni 2014

Positive Institution sebagai Usaha Peningkatan Kebahagiaan Warga

Kali ini aku akan menuliskan sebuah pemikiran mengenai kebahagiaan. Bila dilihat lebih lanjut, kebahagiaan terlihat sangat abstrak dan subjektif. Bisa jadi, masing-masing orang memiliki makna orientasi dan makna kebahagiaan yang berbeda-beda. Oleh karena itulah kebahagiaan seringkali dikaitkan dengan kesejahteraan subjektif (subjective well-being). Tapi, pada dasarnya, kebahagiaan merupakan emosi universal yang penting (Compton, 2005) dan didambakan dalam kehidupan setiap orang (Argyle, 2001). Kebahagiaan dapat dijadikan sebagai salah satu bagian dari indikator kualitas hidup seseorang (Munson & Resnick, 2012), yang manakebahagiaan merupakan aspek penting dalam menciptakan kesejahteraan subjektif seseorang (Lu & Gilmour, 2004) dan menjadi variabel penting untuk menemukan makna hidup (Baumeister, Vohs, Aaker, & Garbinsky, 2014). Hal tersebut diperkuat dengan pendapat Lu &Gilmour (2004) yang menyatakan bahwa kebahagiaan dipandang sebagai suatu tujuan, yaitu adanya harapan kehidupan masing-masing orang berakhir bahagia meskipun memiliki cara dan pengalaman yang berbeda-beda dalam meraihnya. 
Salah satu cara untuk menguatkan emosi positif, khususnya untuk meningkatkan kebahagiaan, dapat dilakukan dengan mengumpulkan pengalaman-pengalaman positif dari masing-masing individu (Rausch, 2013). Penguatan emosi positif akan membuat seseorang mengumpulkan pengalaman positif (positive experience) sehingga mampu mengubah pengalaman negatif (stressful experience) secara adaptif (Vulpe & Dafinoiu, 2012). Senada dengan pendapat tersebut, Baumeister, Vohs, Aaker, & Garbinsky (2014) menyatakan bahwa peningkatan kebahagiaan akan berperan dalam penurunan tingkat kecemasan, kekhawatiran, dan kondisi tertekan (stress). Untuk mencapai hal tersebut, langkah intervensi yang dilakukan dapat dimulai dengan cara mengubah perilaku yang diiringi dengan pembenahan kognisi masing-masing individu tersebut (Vulpe & Dafiniou, 2012).
Pembentukan emosi positif tersebut sedikit banyak juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan serta bagaimana sebuah institusi dapat dijadikan sebagai lingkungan yang positif (institusi positif) dan mendukung peningkatan atau penguatan emosi positif dalam diri seseorang. Hal tersebut dinyatakan secara implisit oleh Seligman (2002) dalam bukunya yang berjudul Autenthic Happiness,
“positive institution that support the virtues”
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa institusi postif (positive institution) merupakan salah satu pilar utama dari kajian psikologi positif yang mendukung penguatan emosi positif masyarakat di dalam sebuah lembaga atau institusi melalui serangkaian program atau langkah-langkah intervensi. 
Larry Starr (dalam Greenberg, 2007) menyatakan terdapat 3 elemen penting untuk menciptakan positive institution, yaitu adanya transparansi, adanya misi dan usaha/langkah untuk mencapai visi tersebut, serta kemampuan untuk mengatasi masalah/kesulitan/konflik secara konstruktif. Lebih lanjut, Katy (dalam Greenberg, 2007) menambahkan bahwa pembentukan positive institution juga ditentukan oleh karakter pemimpin. Dalam hal ini, pemimpin menjadi faktor pendukung untuk membangun kesadaran dan membangun hubungan interpersonal dengan masyarakat di bawahnya guna mencapai tujuan (Rausch, 2013). Hubungan interpersonal masyarakat dalam suatu institusi atau lembaga juga penting dalam penciptaan positive institution. Pandangan tersebut didasarkan pada karakteristik orang-orang dari budaya timur, yaitu pencapaian kebahagiaan dikaitkan dengan terciptanya harmoni sosial (Uchida & Kitayama, 2009) dan dipengaruhi oleh persepsi diri yang terbentuk dalam sebuah hubungan sosial (Uchida, Norasakkunkit & Kitayama, 2004). 
Dalam prakteknya, positive institution cenderung diaplikasikan pada intervensi pada level makro, yang memperhatikan peran hope, efficacy, resiliency, dan optimism masyarakat di dalamnya (Cascio & Luthans, 2014). Pandangan ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Vulpe & Dafinoui (2012), yang menyatakan bahwa resiliensi (kemampuan untuk bangkit kembali dari pengalaman negatif dan menyesuaikan diri dengan perubahan dari pengalaman yang stressful) akan membantu peningkatan strategi koping dalam pengumpulan pengalaman positif sehingga meningkatkan atau menguatkan positive emotion dalam diri masing-masing individu (Vulpe & Dafinoui, 2012). Dari dua penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa penciptaan suatu lembaga atau institusi positif akan membantu memudahkan masyarakat di dalamnya untuk mengumpulkan pengalaman positif yang mampu meningkatkan kebahagiaan untuk mereka. Disamping itu, proses pembentukan positive institution juga membutuhkan agen perubahan sosial untuk melakukan berbagai macam tindakan atau intervensi, yang mana hal tersebut membutuhkan kerja sama individu, kelompok/komunitas dan pemimpin dalam suatu kelompok/komunitas (Rausch, 2013). 
Pemaparan di atas disimpulkan bahwa pembentukan institusi positif dilakukan dengan cara mengubah pola pikir atau cara pandang dengan memanfaatkan segi keilmuan atau pengetahuan dan mengubah perilaku negatif ke arah positif dengan menggunakan pendekatan budaya setempat. Selanjutnya, proses penciptaan institusi positif (positive institution) untuk meningkatkan kebahagiaan masyarakat, dapat diringkas ke dalam bagan berikut:
                 Bagan 1. Positive institution dalam meningkatkan kebahagiaan dalam masyarakat


Daftar Pustaka
Argyle, M. (2001). The Psychology of Happiness. New York: Routledge.
Baumeister, R.F., Vohs, K.D., Aaker, J.L., Garbinsky, E.N. (2014). Some key differences between a happy life and a meaningful life. Journal of Positive Psychology, ________
Cascio, W.F., & Luthans, F. (2014). Reflections on the metamorphosis at Robben Island: The role of institutional work and positive psychological capital. Journal of Management Inquiry, 23 (1), 51-67.
Compton, W. C. (2005). Introduction to Positive Psychology. California: Thomson Wadsworth.
Greenberg, M. (2007). Positive Psychology and Institution: Highlights from A Panel Discussion, diunduh dari http://positivepsychologynews.com/news/margaret-greenberg/2007011435 pada tanggal 31 Mei 2014 pukul 13.25

Terima kasih juga kepada: Ardi Primasari, Arini Pinondang, Clara L. Wibowo, Novi Ernilawati, dan Retno Utari K atas kontribusi untuk tulisan ini. Tulisan ini adalah pengembangan pemikiran ketika mata kuliah Psikologi Positif. 

Sabtu, 07 Juli 2012

I'm comforted, I'm trust: The Power of Building Rapport

Dalma dunia konseling atau terapi, seorang konselor atau terapis perlu membangun hubungan (rapport) yang baik dengan kliennya. Hubungan baik akan terjalin tergantung dari bagaimana seorang konselor/terapis bersikap. Nah, dari tulisan Ketan (2009) yang pernah kubaca, ternyata ada poin penting terkait builing rapport yang perlu diperhatikan saat proses konseling/terapi, yaitu sebagai berikut:

1.   Pacing
Tujuan dari pacing ini adalah membawa klien dalam kondisi nyaman.
Prosesnya dimulai dengan berusaha menyamakan posisi dan mengikuti kesukaan klien, sebagai sikap awal yang menunjukkan bahwa konselor memahami klien. Jika sudah terjalin komunikasi, proses pacing diperkuat dengan adanya proses empati kepada klien sehingga klien merasa nyaman.
Yang dapat dijadikan sarana dalam pacing :
  • Mengikuti kebiasaan/ habit klien
  • Situasi, yaitu tempat dimana klien merasa nyaman
  • Menyamakan fisiologi/ gesture, maksudnya adalah membuat posisi kita sejajar dengan klien, sehingga klien tidak merasa digurui
  • Menggunakan Language (Rep System) and Meta Program yang tepat
Terkait dengan fokus penginderaan klien (visual, auditory, atau kinesthetic). Misalnya, orang yang lebih kuat visualisasinya, konselor dapat menggunakan kata “kelihatannya”, “nampaknya”. Jika klien lebih kuat dalam hal auditory, dapat menggunakan kata “kedengarannya”. Jika klien lebih dominan dalam hal kinestetik, dapat digunakan kata “rasanya”, dan sebagainya.

2.   Leading
Leading dilakukan jika klien telah merasa nyaman, sehingga dapat diajak atau diarahkan menuju outcome atau tujuan yang diharapkan. Teknik ini digunakan dengan memanfaatkan cerita yang telah disampaikan klien.
Tujuan dari leading ini adalah membangun kepercayaan klien sehingga nantinya klien dapat dengan mudah diarahkan, dibimbing, dibantu dalam menemukan jalan keluar dari permasalahannya. 
Dalam pelaksanaannya leading dapat dilakukan setelah dua atau tiga kali pacing.
Oiya, yang tidak kalah pentingnya adalah yang ketiga, kita juga perlu menguasai teknik refleksi empati, karena hal tersebut juga menjadi kunci terbentuknya hubungan yang baik. Teknik refleksi empati itu meliputi dua macam, yaitu refleksi isi dan refleksi emosi, dan dua-duanya bisa dipakai secara bergantian saat terapis/konselor mendengarkan aktif. Disamping itu, perlu juga sesekali melakukan summarizing atau paraphrasing agar suasana semakin nyaman dan kondusif. Daan.. kemampuan tersebut perlu dilatih, tidak hanya sekedar teori karena termasuk skill. So, bagi para konselor/terapis semangat mengembangkan diri yaa...