Film Taare Zameen Par ini menceritakan tentang kisah seorang anak laki-laki, bernama Ishaan Nandkishor Awasthi, yang berusia 7-8 tahun. Tanpa diketahui oleh orang tuanya, anak ini ternyata mengalami kesukaran belajar yang dimasukkan dalam kategori dyslexia. Seorang anak yang mengalami dyslexia akan mengalami kesukaran dalam hal membaca, bahkan mungkin akan mengalami kesukaran pula dalam kemampuan matematikanya. Seperti halnya ditunjukkan oleh Ishaan. Dia tidak dapat membaca dan menulis, terutama terkait dengan memahami kata dan cenderung mengalami mirror imaging untuk huruf atau kata tertentu. Sebagai contoh, ia tidak dapat membedakan antara huruf “b” dan “d” dan mengalami mirror imaging untuk huruf “r”, “s”, “t”, dan “h”. Disamping itu, gejala yang lain ditunjukkan dengan adanya kebingungan yang dialami ketika ia mendapatkan multiple instruction, seperti “buka halaman 65, bab 9, paragraf 4, baris ke-2”. Ishaan juga mengalami hambatan dalam memahami bunyi, memvisualisasikan dan mengetahui makna suatu kata serta mengalami keterlambatan dalam memahami ukuran, jarak, dan kecepatan suatu benda. Hambatan ini disebut dengan poor final gross motus skill. Akibat dari keterlambatan ini ia menghadapi permasalahan mengancingkan bajunya atau mengalami kesulitan dalam mengaitkan tali sepatunya.
Jika ditinjau lebih jauh, sebenarnya hambatan belajar yang dialami Ishaan ini dapat diatas dengan mengajarinya secara perlahan-lahan dengan sikap yang menunjukkan rasa kasih sayang, perhatian, dan penuh penerimaan. Akan tetapi, hal tersebut tidak didapatkan dari lingkungan sekitarnya, baik dalam lingkungan keluarganya maupun lingkungan di sekolahnya. Orang tua yang sibuk dengan pekerjaannya, cenderung menuntut anaknya agar menjadi nomor satu, dan melabel buruk setiap perbuatan yang dilakukan anaknya tanpa mendengarkan penjelasan mengapa hal itu dilakukan, justru akan memberikan stressor tersendiri untuk Ishaan. Ia cenderung akan merasa bahwa dirinya dianggap tidak berguna dan tidak diperhatikan. Terlebih lagi guru di lingkungan sekolahnya kurang dapat memahami dan menjalin hubungan kooperatif dengannya. Alhasil, Ishaan dianggap anak yang mengalami retardasi.
Padahal jika dilihat dari kemampuan kognitifnya, ada kemungkinan Ishaan tidak mengalami retardasi. Hal ini dibuktikan dengan adanya kemampuan untuk memahami kondisi di lingkungannya dan kemampuan untuk menuangkan imajinasinya dalam lukisan. Namun, lack of social support dan label negatif yang diperolehnya membuat kemampuan ini dipandang sebelah mata oleh lingkungannya. Terlebih lagi, hal ini diperburuk dengan adanya stereotype bahwa seorang anak berprestasi dan pandai dapat dilihat dari kemampuan akademisnya.
Keputusan Mr. Awasthi untuk memasukkan Ishaan ke boarding school dikarenakan Ishaan mengalami kegagalan belajar di tahun ketiganya, ternyata memberikan tekanan batin bagi Ishaan. Ishaan menganggap bahwa boarding school adalah tempat hukuman atas ketidakmampuan akademiknya (punishment). Di sisi lain, dia juga merasa bahwa dirinya ditolak oleh keluarganya, yang dia ungkapkan dalam lukisan. Adanya tekanan dan kurangnya dukungan sosial serta penerimaan dari lingkungan terdekatnya inilah yang membuat ia merasa rendah diri, tidak mampu, ketakutan, bahkan menurunkan motivasi untuk mengembangkan kemampuan melukisnya.
Fenomena ini terus berlanjut hingga seorang guru melukis bernama Ram Shankar Nikum mampu mendeteksi kesukaran belajar yang dialami Ishaan. Guru ini berusaha untuk memahami hambatan dalam proses psikologis yang dialami Ishaan dan mencoba untuk membantu Ishaan keluar dari permasalahannya. Hal pertama yang dilakukannya adalah mengamati perilaku Ishaan dan mencoba untuk mencari data-data yang diperlukan terkait dengan permasalahan Ishaan, seperti bertanya kepada teman dekat Ishaan, hasil pekerjaannya dan keluarganya. Kemudian ia mengidentifikasi masalah berdasarkan gejala-gejala yang dialami Ishaan dan keterangan yang diberikan oleh keluarga Ishaan. Dari sini ia memastikan bahwa Ishaan mengalami disleksia dan mencoba untuk membangun acceptance pada keluarga Ishaan, terutama ayahnya. Ia menjelaskan bahwa setiap anak mempunyai kualitas, keahlian dan minat yang berbeda, sehingga tidak dibenarkan seorang anak dibedakan berdasarkan kemampuan akademisnya. Kemudian ia mencoba untuk membangun self-confidence dan self-acceptance dalam diri Ishaan, sehingga Ishaan merasa lebih percaya diri dan mau mengembangkan kemampuannya. Karena Ishaan mempunyai kesulitan untuk intepretasi stimulus, memahami dan mengintegrasikan informasi visual, ia memberikan latihan spesifik dalam hal memproses informasi untuk keterampilan membaca dan menulis kepada Ishaan.
Dari proses yang telah dilakukan, tampak bahwa Ram Shankar melakukan evaluasi formatif, dimana dia mengukur kemajuan Ishaan dengan membandingkannya dengan dirinya, antara lain memperhatikan kesulitan pronounsiasi huruf tertentu, sehingga ia akan memperhatikan ketika huruf tersebut diucapkan. Disamping itu, ia juga memberi bacaan atau daftar kata yang disusun urut berdasarkan taraf kesukaran. Ishaan diminta membaca bacaan dari taraf kesukaran yang relatif rendah, dan meningkat pada bacaan yang mempunyai taraf kesukaran tertentu, dan memonitor kesalahan yang dibuat, misal kata-kata yang dihilangkan, salah pronounciation, pemutaran/pembalikan kata.
Proses yang dilakukan Ram Shankan ini juga diikuti dengan sikap sabar, telaten, penuh penerimaan, penuh perhatian, dan kasih sayang, sehingga Ishaan dapat membangkitkan motivasi pada diri Ishaan. Alhasil, prestasi Ishaan pun menjadi bisa dibanggakan dan diakui oleh seluruh siswa dan gurunya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pertimbangan pendidikan yang tepat untuk anak yang mengalami disleksia, yang juga disertai dengan dukungan sosial dan sikap penuh penerimaan dari lingkungan sekitarnya akan mendorong peningkatan prestasi dan kepercayaan diri (self-esteem) anak-anak yang mengalami disleksia. Inilah poin penting dalam mendamping anak-anak berkebutuhan khusus seperti disleksia.
Seseorang yang mengalami dyslexia sering diatribusikan mengalami defisit atau keabnormalan dalam fungsi cerebellum-nya. Dalam penelitian terdahulu, untuk mengungkapkan hal tersebut, diggunakan dua macam pendekatan, yaitu Phonological Deficit Hypothesis dan The Magnocellular Deficit Hypothesis. Untuk meneliti lebih jauh mengapa anak yang mengalami dyslexia berkemungkinan gagal untuk belajar membaca, diperlukan pemahaman terkait dengan proses belajarnya. Sehubungan dengan hal itu, Fawcett & Nicholson meneliti tentang peran cerebellum pada orang yang mengalami disleksi dalam artikel penelitiannya.
Kedua peneliti menyatakan bahwa permasalahan dyslexia ini juga tidak hanya terbatas pada kesulitan membaca tetapi juga kesulitan membunyikan kata atau kalimat. Kemampuan membunyikan kata-kata ini juga diawali dari kemampuan mendengarkan dan mencerna bahasa yang didengar. Hal ini dikenal dengan automatisation skills. Berangkat dari permasalahan tersebut, seorang anak yang mengalami dyslexia dipandang mengalami hambatan dalam kemampuan automatisation. Untuk selanjutnya, penelitian ini akan membahas dan menjelaskan penyebab hambatan automatisation skills pada penderita dyslexia dalam lingkup brain level.
Dalam penelitian ini, kedua peneliti menggunakan pandangan Cerebellum Deficit Hypothesis (CDH) untuk menjelaskan penyebab adanya kesulitan membaca dan kesulitan lainnya pada penderita dyslexia. Sebagai landasan penelitian yang dilakukan, kedua peneliti juga mereviu program-program penelitian dan bukti-bukti mengenai CDH dalam kurun waktu 15 tahun ini.
Tujuan identifikasi yang dilakukan melalui penelitian ini adalah untuk mengetahui kebutuhan khusus pada penderita dyslexia terutama dalam bidang pendidikan, agar kita dapat mendukung mereka secara proaktif sebelum mereka merasa gagal serta dapat memberikan intervensi dengan tepat.
Peneliti mengawali penelitiannya dengan menyiapkan overview bukti-bukti empiris terbaru mengenai peranan utama cerebellum terkait dengan kemampuan kognitif, khususnya dalam tingkatan kemampuan bahasanya, serta kemampuan motoriknya. Selanjutnya, peneliti menguraikan bukti-bukti dari laboratorium yang menunjukkan bahwa penderita dyslexia mengalami disfungsi cerebellar.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimental dengan membagi subjek penelitian menjadi dua kelompok, yaitu kelompok perlakuan yang memenuhi dua kriteria standar sebagai penderita dyslexia, memiliki IQ diatas 90, reading age minimal 18 bulan lebih lambat dibanding umur kronologisnya, tidak memiliki gejala ADHD serta tidak mengalami gangguan emosi dan perilaku; dan kelompok kontrol (normally-achieving) dengan kriteria latar belakang sosial yang sama dan memiliki kesesuaian antara umur dan IQ. Secara keseluruhan subjek penelitian ini berjumlah 126 anak dengan rentang umur antara 8-16 tahun. Kedua kelompok tersebut diberi tugas yang menggunakan peranan cerebellum dan tugas-tugas lainnya yang dirancang untuk anak dyslexia. Kemudian hasil yang diperoleh dianalisis dengan sistem panel study.
Dari analisis yang dilakukan berdasarkan bukti-bukti yang ada, diperoleh dua pertimbangan spesifik, yaitu dari perilaku dan neuroimaging yang menunjukkan perbedaan signifikan antara kelompok dyslexia dan kelompok kontrol. Berdasarkan tes perilaku yang dilakukan, kelompok perlakuan memilikikemampuan membaca yang lemah. Dari penelitian ini juga membuktikan dan memperkuat adanya pandangan Cerebellum Deficit Hypothesis (CDH) pada anak yang mengalami dyslexia.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa rantai atau hubungan sebab akibat secara ontogenetik terjadi pada penderita dyslexia. Keabnormalan cerebellum yang terjadi sejak lahir akan mempengaruhi perkembangan seseorang dan dapat menjadi penyebab dyslexia. Penelitian ini dapat menjadi wacana bagi kita untuk mengetahui latar belakang seseorang dapat menderita dyslexia. untuk selanjutnya sebaiknya peelitian ini dilanjutkan dengan menyertakan intervensi yang efektif terhadap penderita dyslexia.
Padahal jika dilihat dari kemampuan kognitifnya, ada kemungkinan Ishaan tidak mengalami retardasi. Hal ini dibuktikan dengan adanya kemampuan untuk memahami kondisi di lingkungannya dan kemampuan untuk menuangkan imajinasinya dalam lukisan. Namun, lack of social support dan label negatif yang diperolehnya membuat kemampuan ini dipandang sebelah mata oleh lingkungannya. Terlebih lagi, hal ini diperburuk dengan adanya stereotype bahwa seorang anak berprestasi dan pandai dapat dilihat dari kemampuan akademisnya.
Keputusan Mr. Awasthi untuk memasukkan Ishaan ke boarding school dikarenakan Ishaan mengalami kegagalan belajar di tahun ketiganya, ternyata memberikan tekanan batin bagi Ishaan. Ishaan menganggap bahwa boarding school adalah tempat hukuman atas ketidakmampuan akademiknya (punishment). Di sisi lain, dia juga merasa bahwa dirinya ditolak oleh keluarganya, yang dia ungkapkan dalam lukisan. Adanya tekanan dan kurangnya dukungan sosial serta penerimaan dari lingkungan terdekatnya inilah yang membuat ia merasa rendah diri, tidak mampu, ketakutan, bahkan menurunkan motivasi untuk mengembangkan kemampuan melukisnya.
Fenomena ini terus berlanjut hingga seorang guru melukis bernama Ram Shankar Nikum mampu mendeteksi kesukaran belajar yang dialami Ishaan. Guru ini berusaha untuk memahami hambatan dalam proses psikologis yang dialami Ishaan dan mencoba untuk membantu Ishaan keluar dari permasalahannya. Hal pertama yang dilakukannya adalah mengamati perilaku Ishaan dan mencoba untuk mencari data-data yang diperlukan terkait dengan permasalahan Ishaan, seperti bertanya kepada teman dekat Ishaan, hasil pekerjaannya dan keluarganya. Kemudian ia mengidentifikasi masalah berdasarkan gejala-gejala yang dialami Ishaan dan keterangan yang diberikan oleh keluarga Ishaan. Dari sini ia memastikan bahwa Ishaan mengalami disleksia dan mencoba untuk membangun acceptance pada keluarga Ishaan, terutama ayahnya. Ia menjelaskan bahwa setiap anak mempunyai kualitas, keahlian dan minat yang berbeda, sehingga tidak dibenarkan seorang anak dibedakan berdasarkan kemampuan akademisnya. Kemudian ia mencoba untuk membangun self-confidence dan self-acceptance dalam diri Ishaan, sehingga Ishaan merasa lebih percaya diri dan mau mengembangkan kemampuannya. Karena Ishaan mempunyai kesulitan untuk intepretasi stimulus, memahami dan mengintegrasikan informasi visual, ia memberikan latihan spesifik dalam hal memproses informasi untuk keterampilan membaca dan menulis kepada Ishaan.
Dari proses yang telah dilakukan, tampak bahwa Ram Shankar melakukan evaluasi formatif, dimana dia mengukur kemajuan Ishaan dengan membandingkannya dengan dirinya, antara lain memperhatikan kesulitan pronounsiasi huruf tertentu, sehingga ia akan memperhatikan ketika huruf tersebut diucapkan. Disamping itu, ia juga memberi bacaan atau daftar kata yang disusun urut berdasarkan taraf kesukaran. Ishaan diminta membaca bacaan dari taraf kesukaran yang relatif rendah, dan meningkat pada bacaan yang mempunyai taraf kesukaran tertentu, dan memonitor kesalahan yang dibuat, misal kata-kata yang dihilangkan, salah pronounciation, pemutaran/pembalikan kata.
Proses yang dilakukan Ram Shankan ini juga diikuti dengan sikap sabar, telaten, penuh penerimaan, penuh perhatian, dan kasih sayang, sehingga Ishaan dapat membangkitkan motivasi pada diri Ishaan. Alhasil, prestasi Ishaan pun menjadi bisa dibanggakan dan diakui oleh seluruh siswa dan gurunya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pertimbangan pendidikan yang tepat untuk anak yang mengalami disleksia, yang juga disertai dengan dukungan sosial dan sikap penuh penerimaan dari lingkungan sekitarnya akan mendorong peningkatan prestasi dan kepercayaan diri (self-esteem) anak-anak yang mengalami disleksia. Inilah poin penting dalam mendamping anak-anak berkebutuhan khusus seperti disleksia.
Seseorang yang mengalami dyslexia sering diatribusikan mengalami defisit atau keabnormalan dalam fungsi cerebellum-nya. Dalam penelitian terdahulu, untuk mengungkapkan hal tersebut, diggunakan dua macam pendekatan, yaitu Phonological Deficit Hypothesis dan The Magnocellular Deficit Hypothesis. Untuk meneliti lebih jauh mengapa anak yang mengalami dyslexia berkemungkinan gagal untuk belajar membaca, diperlukan pemahaman terkait dengan proses belajarnya. Sehubungan dengan hal itu, Fawcett & Nicholson meneliti tentang peran cerebellum pada orang yang mengalami disleksi dalam artikel penelitiannya.
Kedua peneliti menyatakan bahwa permasalahan dyslexia ini juga tidak hanya terbatas pada kesulitan membaca tetapi juga kesulitan membunyikan kata atau kalimat. Kemampuan membunyikan kata-kata ini juga diawali dari kemampuan mendengarkan dan mencerna bahasa yang didengar. Hal ini dikenal dengan automatisation skills. Berangkat dari permasalahan tersebut, seorang anak yang mengalami dyslexia dipandang mengalami hambatan dalam kemampuan automatisation. Untuk selanjutnya, penelitian ini akan membahas dan menjelaskan penyebab hambatan automatisation skills pada penderita dyslexia dalam lingkup brain level.
Dalam penelitian ini, kedua peneliti menggunakan pandangan Cerebellum Deficit Hypothesis (CDH) untuk menjelaskan penyebab adanya kesulitan membaca dan kesulitan lainnya pada penderita dyslexia. Sebagai landasan penelitian yang dilakukan, kedua peneliti juga mereviu program-program penelitian dan bukti-bukti mengenai CDH dalam kurun waktu 15 tahun ini.
Tujuan identifikasi yang dilakukan melalui penelitian ini adalah untuk mengetahui kebutuhan khusus pada penderita dyslexia terutama dalam bidang pendidikan, agar kita dapat mendukung mereka secara proaktif sebelum mereka merasa gagal serta dapat memberikan intervensi dengan tepat.
Peneliti mengawali penelitiannya dengan menyiapkan overview bukti-bukti empiris terbaru mengenai peranan utama cerebellum terkait dengan kemampuan kognitif, khususnya dalam tingkatan kemampuan bahasanya, serta kemampuan motoriknya. Selanjutnya, peneliti menguraikan bukti-bukti dari laboratorium yang menunjukkan bahwa penderita dyslexia mengalami disfungsi cerebellar.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimental dengan membagi subjek penelitian menjadi dua kelompok, yaitu kelompok perlakuan yang memenuhi dua kriteria standar sebagai penderita dyslexia, memiliki IQ diatas 90, reading age minimal 18 bulan lebih lambat dibanding umur kronologisnya, tidak memiliki gejala ADHD serta tidak mengalami gangguan emosi dan perilaku; dan kelompok kontrol (normally-achieving) dengan kriteria latar belakang sosial yang sama dan memiliki kesesuaian antara umur dan IQ. Secara keseluruhan subjek penelitian ini berjumlah 126 anak dengan rentang umur antara 8-16 tahun. Kedua kelompok tersebut diberi tugas yang menggunakan peranan cerebellum dan tugas-tugas lainnya yang dirancang untuk anak dyslexia. Kemudian hasil yang diperoleh dianalisis dengan sistem panel study.
Dari analisis yang dilakukan berdasarkan bukti-bukti yang ada, diperoleh dua pertimbangan spesifik, yaitu dari perilaku dan neuroimaging yang menunjukkan perbedaan signifikan antara kelompok dyslexia dan kelompok kontrol. Berdasarkan tes perilaku yang dilakukan, kelompok perlakuan memilikikemampuan membaca yang lemah. Dari penelitian ini juga membuktikan dan memperkuat adanya pandangan Cerebellum Deficit Hypothesis (CDH) pada anak yang mengalami dyslexia.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa rantai atau hubungan sebab akibat secara ontogenetik terjadi pada penderita dyslexia. Keabnormalan cerebellum yang terjadi sejak lahir akan mempengaruhi perkembangan seseorang dan dapat menjadi penyebab dyslexia. Penelitian ini dapat menjadi wacana bagi kita untuk mengetahui latar belakang seseorang dapat menderita dyslexia. untuk selanjutnya sebaiknya peelitian ini dilanjutkan dengan menyertakan intervensi yang efektif terhadap penderita dyslexia.